Jumat, 23 Agustus 2013

[Cerpen #002] - My Destination



Selintas ku pandang jam di pergelangan tangan kiri ku, sudah hampir pukul 10, namun matahari masih enggan untuk muncul. Beberapa ku lihat orang berlalu lalang yang sebagian besar dari mereka menyerah, mundur, dan berbalik arah, sisanya hanya melihat-lihat, bahkan berfoto-foto layaknya di tempat rekreasi. Aku diam sejenak, berfikir bagaimana melewati jalan dihadapanku, aku berfikir tentangmu, lagi-lagi-dan-lagi-lagi tentangmu. Aku masih menunggangi kuda bermesinku, sepertinya mesin ini tak akan sanggup melewatinya, lalu aku tersadar  aku bukanlah sebuah mesin. Tangan dan kakiku tak akan rusak dan karatan. Aku sedikit berbalik arah, melihat sekeliling mencari tempat dimana aku bisa parkir. Kusiapkan beberapa barang yang bisa ku bawa, dan berharap mungkin bisa membantu ku di tengah perjalanan nanti, ku rogoh uang di saku celana ku, tak banyak memang, hanya beberapa lembar uang ribuan dan lima ribuan, dalam hati ku berdoa semoga ini cukup. Terbayang belasan kilometer berada di depan ku yang harus siap aku hadapi, ini jalan yang sama fikirku hanya sedikit dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Setelah memantapkan hati, aku siap untuk melangkahkan langkah pertamaku.



Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai di jalan yang sebelumnya, ini langkah terakhir ku untuk berjalan di tanah yang kering. Sedikit ragu ketika pertama kalinya kakiku masuk kedalam air, ini akan menjadi perjalanan yang berat fikirku. Semakin ku melangkah, air yang semakin dalam membasahi celana bahkan pakaianku, tak terasa air sudah menyentuh pahaku, pakaian ku yang panjang sudah mulai terendam. Disekelilingku mengapung beberapa perahu karet yang mengangkut sebagian orang yang terlihat jelas mereka orang yang berada, membayar perahu yang semestinya berfungsi untuk mengangkut korban ketempat pengungsian secara cuma-cuma, tapi malah untuk mengangkut orang-orang egois seperti mereka, sudut bibirku mencibir lalu ku lanjutkan perjalanan. Beberapa kendaraan yang mati ditengah jalan terlihat berjalan dengan didorong oleh pemiliknya, bersyukur aku tidak senekat itu, setidaknya aku tahu untuk membawa tubuhku sendiri saja cukup sulit, apalagi harus ditambah membawa benda seberat itu. Aku sampai di persimpangan jalan yang pertama, tanahnya cukup tinggi sehingga kering dan tidak tergenang air, teringat jelas olehku dari berita-berita di televisi, kurang lebih lima-belas-tahun yang lalu tak jauh dari persimpangan ini tempat terjadinya tragedi dampak dari carut-marut-nya kepemimpinan negeri ini. Terlihat banyak pedagang makanan dan minuman, tubuhku belum masuk makanan atau minuman setetes pun sejak pagi, tapi jarak yang telah ku tempuh ini bahkan belum ada seperempat perjalananku, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan.



Dari persimpangan aku tetap terus melanjutkan perjalanan kearah barat, meski masih ada beberapa titik genangan air, namun jalur khusus bus ini tanahnya lebih tinggi, sehingga masih bisa ku lalui tanpa kakiku terendam air, sedikit rasa gatal yang menggerayangi kakiku semakin terasa. Jalan kembali terendam oleh tingginya air, bahkan lebih tinggi dari yang telah ku lalui sebelumnya, disekeliling kiri dan kananku berjejer gedung perkantoran, beberapa ruko, dan warung makan, tampak  sama sekali tidak ada aktifitas, musibah ini benar-benar melumpuhkan perekonomian kota ini. Beberapa anak-anak terlihat bahagia berenang-renang di air kotor ini, miris sekali aku melihatnya, sepertinya mereka tak pernah menganggap ini sebuah musibah. Aku masih berjalan diatas jalur bus yang memang lebih tinggi dibanding jalur kendaraan untuk umum. Air sudah mencapai pinggangku, aku mulai berpegangan pada pagar pembatas jalan. Beberapa kali lalu lalang kendaraan yang sangat besar milik aparat negara yang mengangkut pejalan kaki seperti ku, tapi hanya lewat dan tidak ada yang berhenti, sepertinya memang tidak memungkinkan menghentikan mesin itu ditengah kepungan air setinggi ini, setiap mereka lewat menciptakan gelombang air yang cukup besar, dan membuat aku semakin berpengangan erat dengan pagar pembatas jalan.


Dibalik musibah pasti ada hikmah, jalan lain untuk mengais rezeki, beberapa orang beralih profesi menjadi pendorong ‘ojek’ gerobak, mereka pintar melihat peluang untuk mengeruk keuntungan, beberapa diantaranya mencoba menawarkanku untuk naik, aku sadar uangku tak akan cukup untuk membayar ongkos sewanya, aku menolak diikuti senyuman ku sebagai tanda maaf dari ku, aku memilih berjalan kaki saja. Diantara mereka juga mencoba menakut-nakutiku dengan berkata didepan airnya lebih tinggi, fikirku 'toh bapak pendorong gerobak saja bisa berjalan kaki, pasti aku juga bisa. Tak jauh setelah melewati gedung salah satu stasiun tv nasional di samping kiri ku ini, didepan sudah mulai terlihat jalan layang, syukurlah meski jalan layang sepertinya lebih panjang, jauh dan menanjak, setidaknya aku tak harus berjalan didalam air lagi. Sesampai di kaki jalan layang terlihat berjejer pedagang rokok dan minuman, aku fikir tubuhku butuh minum, ini belum ada setengah perjalanan, aku memesan satu botol air mineral pada seorang ibu-ibu yang usianya cukup matang. Aku buka penutup segel air mineral botol itu sambil bersandar pada pembatas jalan layang, sudah cukup jauh aku berjalan. Tak lama setelah aku meneguk air, ibu pedagang minuman itu membuka pembicaraan, ia bertanya kemana arah tujuan ku, dengan berat hati aku harus sedikit membohonginya, aku menjawab aku mau pulang, padahal sesungguhnya arah aku pulang adalah arah sebaliknya dari perjalananku sejak tadi. 


Berbicara tentang kemana tujuanku, sesungguhnya hal itu sedikit menyinggung perasaanku yang sedang kalut, dua hari lalu sebelum musibah yang menimpa kota ini semakin memburuk seperti saat ini, aku bertanya satu hal yang sebenarnya dulu sudah pernah ku tanyakan sebelumnya padanya, beberapa bukti berada ditanganku, semua bertolak belakang dengan apa yang pernah ia ucapkan. Setelah selesai aku mengutarakan tujuanku bertemu dengannya malam itu, aku pun tersenyum, dan aku berkata aku tak pernah marah kepadanya, aku hanya ingin ia berkata jujur. Semua diluar dugaan ku, ia sangat marah, ia marah karena mengapa masih saja aku mempermasalahkan yang telah berlalu, sehingga sampai ia mengantarkan aku pulang pun masalah belum terselesaikan, aku fikir mungkin esok hari keadaan bisa membaik, sesungguhnya aku bukanlah orang yang bisa bertahan membiarkan masalah berlarut-larut. Sebelum beranjak tidur, hujan kembali turun dan ini sudah terjadi beberapa hari ini. Keesokan paginya hujan semakin lebat, kulihat tayangan berita di tv, dan mencari info jalan melalui internet, banjir semakin meninggi dan sudah mengepung kota ini. Aku mulai khawatir, pagi itu aku tak bisa beraktifitas seperti biasanya. Aku pun mencoba memulai komunikasi dengannya, kutanyakan apakah ia bisa berangkat berkerja atau tidak, tapi tidak ada jawaban. Begitu seterusnya hingga hari ini, aku yakin ia benar-benar tahu tentang kelemahanku ini, aku tak pernah bisa tenang, bila komunikasi terputus. Terlebih seakan tidak ada waktu lagi, selain hari ini, karna esok ia akan memulai pekerjaannya di luar kota untuk dua minggu kedepan.


Sang ibu penjual minuman membuyarkan lamunanku, ketika ada mobil aparat yang naik keatas jalan layang, dia berkata mobil aparat itu bisa mengantarkan aku menyeberangi jalan layang ini, sehingga aku tak perlu berjalan kaki, suami sang ibu membantuku bertanya kepada para aparat tersebut, namun sayang, mobil tersebut naik keatas jalan layang dikarenakan mesinnya hampir saja rusak karena telah lama berjalan didalam air. Aku tersenyum kepada kedua pasangan ibu dan bapak penjual minuman itu, mereka sangat baik, setelah berterima kasih kepada mereka aku melanjutkan perjalanan. Jalan layang ini sangat kosong, tidak ada pejalan kaki lain maupun kendaraan yang melaluinya, tidak seperti hari-hari biasanya yang padat dengan kendaraan roda dua, empat atau bahkan roda enam. Tak lama dibelakangku terdengar suara tiga anak perempuan yang masih mengenakan seragam olah raga sekolah mereka, sepertinya mereka setingkat dengan sekolah menengah pertama, mereka terlihat bersendagurau, aku merasa lebih nyaman, setidaknya  ada teman melewati jalan layang yang sepi ini. Tak terasa aku mulai melihat ujung dari jalan layang yang panjang ini, dengan begitu aku harus siap-siap kembali menerobos genangan air.


Air masih setinggi pahaku tapi terasa lebih berat dari sebelumnya, dikakiku sampah semakin banyak yang tenggelam maupun mengapung menyatu dengan air, semakin banyak dan semakin banyak, dan aroma tidak sedap pun semakin menyengat. ternyata di depan ku tepat sebelah kanan ada tempat pembuangan sampah, yang sampahnya harus kembali berserakan bahkan mengapung dimana-mana terbawa genangan air, sepertinya rasa jijik ku sudah hilang sejak awal tadi, lalu aku terus melanjutkan perjalanan. Aku memutuskan lewat jalan lain dari biasanya, aku mulai memasuki perkampungan, yang sebelumnya bila menggunakan kendaraan masih bisa dilewati, akhirnya bertemu lagi dengan jalan yang tidak tergenang air, semakin lama jalan perkampungan ini semakin sempit, tidak ada air yang tergenang, namun aku merasa semua mata dari rumah-rumah kanan-dan-kiri ku tak henti memandangi ku yang telah kuyup, mungkin juga ‘bau’, tapi aku mencoba tak memperdulikan, tak lama jalan perkampungan membesar dan tidak sesempit tadi, namun jalan ini tergenang air cukup tinggi, terlihat rumah-rumah di kanan-dan-kiri terendam air setinggi jendela rumah mereka, atau bahkan rumah yang rendah air hingga mencapai loteng-loteng rumah mereka, aku berjalan di tengah, kali ini aku tidak bisa berpengangan dengan apapun, karna bila berjalan semakin kebagian pinggir, maka tinggi air semakin dalam.


Tak terasa aku sudah keluar dari dalam genangan air, kakiku terasa bergetar, letih semakin terasa, ini sudah hampir sampai, aku harus terus berjalan. Sayangnya tiba-tiba kakiku mulai terasa lemas dan lunglai, di depan tak terlihat lagi genangan air, masih sekitar 300 meter lagi aku akan sampai di tempat tujuanku, kurogoh uang dikantong celana ku yang sudah terlihat lusuh kebasahan, masih tersisa, ku fikir cukup untuk menyewa sebuah ojek motor, mereka pasti bisa melewati jalan yang kering didepan itu, ku tawar mereka dengan nilai lima-ribu-rupiah, setelah salah seorang mereka setuju aku pun naik diatasnya, motor ini berjalan sangat lambat, bila kulihat dari kerangkanya sepertinya cukup tua, tiba-tiba setelah tikungan motor ojek itu bertemu dengan genangan yang sesungguhnya tidak terlalu dalam, namun si bapak tukang ojek tidak mau mengambil resiko, sehingga tetap memustuskan untuk memutar mencari jalan lain. 


Seketika tak lama setelahnya aku sudah sampai di tempat yang telah disetujui dengan sang bapak tukang ojek, setelah aku membayar uang sewanya, aku mencoba sekali lagi menghubunginya melalui telepon genggamku, namun masih tidak ada jawaban, lalu aku mulai masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil, hatiku pun berdebar, aku tak pernah tahu, apa ia berada dirumah atau tidak, atau bahkan aku tak pernah tahu tanggapannya seperti apa, tapi setidaknya aku harus mencoba. Kini aku sudah berdiri didepan pintu rumahnya, ku lihat kembali jam tangan di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 14 lebih beberapa menit, tak terasa kurang lebih empat jam aku berjalan. Aku mulai mengetuk dan memberikan salam, namun tidak ada jawaban, aku mengulanginya lagi, ku beranikan diri mendorong pintu yang memang tidak tertutup sepenuhnya itu, tanpa memakan waktu lama mencari-cari, pandangan ini langsung mendapatkan-nya yang tengah duduk di atas sofa berwarna hijau, dengan datar dia berkata “koq bisa sampai disini…?”, dan dalam hati aku menjawab “karna ini tujuanku..”.



-End-



“Jiaaahhhh setelah sekian lama akhirnya si “puyu” ini balik lagi, kali ini bawa kisah pribadi nih, hehehe, iya ini nyata loh, hahaha. Beberapa orang mungkin bilang ini hal gila dan bodoh, beberapa lagi bilang ini hal yang sia2, lahh apalah namanya, berharap para pembaca meninggalkan komen yang baik-baik aja yaa,, hehehhe.. Ha? Tanggalnya? Tempatnya? Yah tebak-tebak sendiri aja deh, masih ditahun ini koq, oke selamat menikmati~…..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar