Selintas ku pandang jam di pergelangan tangan kiri ku,
sudah hampir pukul 10, namun matahari masih enggan untuk muncul. Beberapa ku
lihat orang berlalu lalang yang sebagian besar dari mereka menyerah, mundur,
dan berbalik arah, sisanya hanya melihat-lihat, bahkan berfoto-foto layaknya di
tempat rekreasi. Aku diam sejenak, berfikir bagaimana melewati jalan
dihadapanku, aku berfikir tentangmu, lagi-lagi-dan-lagi-lagi tentangmu. Aku
masih menunggangi kuda bermesinku, sepertinya mesin ini tak akan sanggup
melewatinya, lalu aku tersadar aku
bukanlah sebuah mesin. Tangan dan kakiku tak akan rusak dan karatan. Aku
sedikit berbalik arah, melihat sekeliling mencari tempat dimana aku bisa
parkir. Kusiapkan beberapa barang yang bisa ku bawa, dan berharap mungkin bisa
membantu ku di tengah perjalanan nanti, ku rogoh uang di saku celana ku, tak
banyak memang, hanya beberapa lembar uang ribuan dan lima ribuan, dalam hati ku
berdoa semoga ini cukup. Terbayang belasan kilometer berada di depan ku yang
harus siap aku hadapi, ini jalan yang sama fikirku hanya sedikit dalam situasi
dan kondisi yang berbeda. Setelah memantapkan hati, aku siap untuk melangkahkan
langkah pertamaku.
Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai di jalan yang
sebelumnya, ini langkah terakhir ku untuk berjalan di tanah yang kering.
Sedikit ragu ketika pertama kalinya kakiku masuk kedalam air, ini akan menjadi
perjalanan yang berat fikirku. Semakin ku melangkah, air yang semakin dalam
membasahi celana bahkan pakaianku, tak terasa air sudah menyentuh pahaku,
pakaian ku yang panjang sudah mulai terendam. Disekelilingku mengapung beberapa
perahu karet yang mengangkut sebagian orang yang terlihat jelas mereka orang
yang berada, membayar perahu yang semestinya berfungsi untuk mengangkut korban
ketempat pengungsian secara cuma-cuma, tapi malah untuk mengangkut orang-orang
egois seperti mereka, sudut bibirku mencibir lalu ku lanjutkan perjalanan.
Beberapa kendaraan yang mati ditengah jalan terlihat berjalan dengan didorong
oleh pemiliknya, bersyukur aku tidak senekat itu, setidaknya aku tahu untuk
membawa tubuhku sendiri saja cukup sulit, apalagi harus ditambah membawa benda
seberat itu. Aku sampai di persimpangan jalan yang pertama, tanahnya cukup
tinggi sehingga kering dan tidak tergenang air, teringat jelas olehku dari berita-berita di televisi, kurang
lebih lima-belas-tahun yang lalu tak jauh dari persimpangan ini tempat terjadinya
tragedi dampak dari carut-marut-nya kepemimpinan negeri ini. Terlihat banyak
pedagang makanan dan minuman, tubuhku belum masuk makanan atau minuman setetes
pun sejak pagi, tapi jarak yang telah ku tempuh ini bahkan belum ada seperempat
perjalananku, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Dari persimpangan aku tetap terus melanjutkan perjalanan kearah
barat, meski masih ada beberapa titik genangan air, namun jalur khusus bus ini
tanahnya lebih tinggi, sehingga masih bisa ku lalui tanpa kakiku terendam air,
sedikit rasa gatal yang menggerayangi kakiku semakin terasa. Jalan kembali
terendam oleh tingginya air, bahkan lebih tinggi dari yang telah ku lalui sebelumnya,
disekeliling kiri dan kananku berjejer gedung perkantoran, beberapa ruko, dan warung
makan, tampak sama sekali tidak ada
aktifitas, musibah ini benar-benar melumpuhkan perekonomian kota ini. Beberapa
anak-anak terlihat bahagia berenang-renang di air kotor ini, miris sekali aku
melihatnya, sepertinya mereka tak pernah menganggap ini sebuah musibah. Aku
masih berjalan diatas jalur bus yang memang lebih tinggi dibanding jalur
kendaraan untuk umum. Air sudah mencapai pinggangku, aku mulai berpegangan pada
pagar pembatas jalan. Beberapa kali lalu lalang kendaraan yang sangat besar
milik aparat negara yang mengangkut pejalan kaki seperti ku, tapi hanya lewat
dan tidak ada yang berhenti, sepertinya memang tidak memungkinkan menghentikan
mesin itu ditengah kepungan air setinggi ini, setiap mereka lewat menciptakan gelombang air yang cukup besar, dan membuat aku semakin berpengangan erat dengan pagar pembatas jalan.
Dibalik musibah pasti ada hikmah, jalan lain untuk mengais rezeki, beberapa orang beralih
profesi menjadi pendorong ‘ojek’ gerobak, mereka pintar melihat peluang untuk mengeruk
keuntungan, beberapa diantaranya mencoba menawarkanku untuk naik, aku sadar
uangku tak akan cukup untuk membayar ongkos sewanya, aku menolak diikuti senyuman ku
sebagai tanda maaf dari ku, aku memilih berjalan kaki saja. Diantara mereka
juga mencoba menakut-nakutiku dengan berkata didepan airnya lebih tinggi,
fikirku 'toh bapak pendorong gerobak saja bisa berjalan kaki, pasti aku juga
bisa. Tak jauh setelah melewati gedung salah satu stasiun tv nasional di
samping kiri ku ini, didepan sudah mulai terlihat jalan layang, syukurlah meski jalan
layang sepertinya lebih panjang, jauh dan menanjak, setidaknya aku tak harus
berjalan didalam air lagi. Sesampai di kaki jalan layang terlihat berjejer pedagang rokok dan minuman, aku fikir tubuhku butuh minum, ini belum ada setengah
perjalanan, aku memesan satu botol air mineral pada seorang ibu-ibu yang usianya
cukup matang. Aku buka penutup segel air mineral botol itu sambil bersandar
pada pembatas jalan layang, sudah cukup jauh aku berjalan. Tak lama setelah aku
meneguk air, ibu pedagang minuman itu membuka pembicaraan, ia bertanya kemana arah
tujuan ku, dengan berat hati aku harus sedikit membohonginya, aku menjawab aku
mau pulang, padahal sesungguhnya arah aku pulang adalah arah sebaliknya dari
perjalananku sejak tadi.
Berbicara tentang kemana tujuanku, sesungguhnya hal itu sedikit
menyinggung perasaanku yang sedang kalut, dua hari lalu sebelum musibah yang menimpa kota ini semakin memburuk seperti saat ini, aku bertanya satu hal yang sebenarnya dulu sudah pernah ku
tanyakan sebelumnya padanya, beberapa bukti berada ditanganku, semua bertolak
belakang dengan apa yang pernah ia ucapkan. Setelah selesai aku mengutarakan
tujuanku bertemu dengannya malam itu, aku pun tersenyum, dan aku berkata aku
tak pernah marah kepadanya, aku hanya ingin ia berkata jujur. Semua diluar
dugaan ku, ia sangat marah, ia marah karena mengapa masih saja aku mempermasalahkan yang telah
berlalu, sehingga sampai ia mengantarkan aku pulang pun masalah belum
terselesaikan, aku fikir mungkin esok hari keadaan bisa membaik, sesungguhnya
aku bukanlah orang yang bisa bertahan membiarkan masalah berlarut-larut.
Sebelum beranjak tidur, hujan kembali turun dan ini sudah terjadi beberapa hari
ini. Keesokan paginya hujan semakin lebat, kulihat tayangan berita di tv, dan
mencari info jalan melalui internet, banjir semakin meninggi dan sudah mengepung kota ini. Aku mulai
khawatir, pagi itu aku tak bisa beraktifitas seperti biasanya. Aku pun mencoba
memulai komunikasi dengannya, kutanyakan apakah ia bisa berangkat berkerja atau
tidak, tapi tidak ada jawaban. Begitu seterusnya hingga hari ini, aku yakin ia benar-benar
tahu tentang kelemahanku ini, aku tak pernah bisa tenang, bila komunikasi
terputus. Terlebih seakan tidak ada waktu lagi, selain hari ini, karna esok ia akan memulai pekerjaannya di luar kota untuk dua minggu kedepan.
Sang ibu penjual minuman membuyarkan lamunanku, ketika ada
mobil aparat yang naik keatas jalan layang, dia berkata mobil aparat itu bisa
mengantarkan aku menyeberangi jalan layang ini, sehingga aku tak perlu berjalan
kaki, suami sang ibu membantuku bertanya kepada para aparat tersebut, namun sayang,
mobil tersebut naik keatas jalan layang dikarenakan mesinnya hampir saja rusak karena telah lama berjalan didalam air. Aku tersenyum kepada kedua pasangan ibu
dan bapak penjual minuman itu, mereka sangat baik, setelah berterima kasih
kepada mereka aku melanjutkan perjalanan. Jalan layang ini sangat kosong, tidak
ada pejalan kaki lain maupun kendaraan yang melaluinya, tidak seperti hari-hari biasanya
yang padat dengan kendaraan roda dua, empat atau bahkan roda enam. Tak lama
dibelakangku terdengar suara tiga anak perempuan yang masih mengenakan seragam
olah raga sekolah mereka, sepertinya mereka setingkat dengan sekolah menengah
pertama, mereka terlihat bersendagurau, aku merasa lebih nyaman, setidaknya ada teman melewati jalan layang yang sepi ini. Tak terasa aku mulai melihat
ujung dari jalan layang yang panjang ini, dengan begitu aku harus siap-siap kembali
menerobos genangan air.
Air masih setinggi pahaku tapi terasa lebih berat dari
sebelumnya, dikakiku sampah semakin banyak yang tenggelam maupun mengapung
menyatu dengan air, semakin banyak dan semakin banyak, dan aroma tidak sedap
pun semakin menyengat. ternyata di depan ku tepat sebelah kanan ada tempat pembuangan
sampah, yang sampahnya harus kembali berserakan bahkan mengapung dimana-mana terbawa genangan air, sepertinya rasa jijik ku sudah hilang sejak awal tadi, lalu aku terus
melanjutkan perjalanan. Aku memutuskan lewat jalan lain dari biasanya, aku
mulai memasuki perkampungan, yang sebelumnya bila menggunakan kendaraan masih
bisa dilewati, akhirnya bertemu lagi dengan jalan yang tidak tergenang air,
semakin lama jalan perkampungan ini semakin sempit, tidak ada air yang
tergenang, namun aku merasa semua mata dari rumah-rumah kanan-dan-kiri ku tak
henti memandangi ku yang telah kuyup, mungkin juga ‘bau’, tapi aku mencoba tak
memperdulikan, tak lama jalan perkampungan membesar dan tidak sesempit tadi,
namun jalan ini tergenang air cukup tinggi, terlihat rumah-rumah di
kanan-dan-kiri terendam air setinggi jendela rumah mereka, atau bahkan rumah
yang rendah air hingga mencapai loteng-loteng rumah mereka, aku berjalan di tengah,
kali ini aku tidak bisa berpengangan dengan apapun, karna bila berjalan semakin kebagian pinggir, maka tinggi air semakin dalam.
Tak terasa aku sudah keluar dari dalam genangan air, kakiku
terasa bergetar, letih semakin terasa, ini sudah hampir sampai, aku harus terus
berjalan. Sayangnya tiba-tiba kakiku mulai terasa lemas dan lunglai, di depan tak terlihat
lagi genangan air, masih sekitar 300 meter lagi aku akan sampai di tempat
tujuanku, kurogoh uang dikantong celana ku yang sudah terlihat lusuh kebasahan,
masih tersisa, ku fikir cukup untuk menyewa sebuah ojek motor, mereka pasti
bisa melewati jalan yang kering didepan itu, ku tawar mereka dengan nilai
lima-ribu-rupiah, setelah salah seorang mereka setuju aku pun naik diatasnya,
motor ini berjalan sangat lambat, bila kulihat dari kerangkanya sepertinya
cukup tua, tiba-tiba setelah tikungan motor ojek itu bertemu dengan genangan
yang sesungguhnya tidak terlalu dalam, namun si bapak tukang ojek tidak mau mengambil resiko, sehingga tetap memustuskan
untuk memutar mencari jalan lain.
Seketika tak lama setelahnya aku sudah sampai di tempat yang telah disetujui dengan sang
bapak tukang ojek, setelah aku membayar uang sewanya, aku mencoba sekali lagi
menghubunginya melalui telepon genggamku, namun masih tidak ada jawaban, lalu
aku mulai masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil, hatiku pun berdebar, aku tak
pernah tahu, apa ia berada dirumah atau tidak, atau bahkan aku tak pernah tahu
tanggapannya seperti apa, tapi setidaknya aku harus mencoba. Kini aku sudah
berdiri didepan pintu rumahnya, ku lihat kembali jam tangan di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 14 lebih beberapa menit, tak terasa kurang lebih empat jam aku berjalan. Aku mulai mengetuk dan memberikan salam, namun tidak
ada jawaban, aku mengulanginya lagi, ku beranikan diri mendorong pintu yang memang tidak
tertutup sepenuhnya itu, tanpa memakan waktu lama mencari-cari, pandangan ini langsung mendapatkan-nya yang tengah duduk di atas sofa berwarna hijau, dengan datar dia berkata “koq bisa sampai
disini…?”, dan dalam hati aku menjawab “karna ini tujuanku..”.
-End-
“Jiaaahhhh setelah sekian lama akhirnya si “puyu” ini balik lagi, kali ini bawa
kisah pribadi nih, hehehe, iya ini nyata loh, hahaha. Beberapa orang mungkin bilang ini hal gila dan bodoh, beberapa lagi bilang ini hal yang sia2, lahh apalah namanya, berharap para pembaca meninggalkan komen yang baik-baik aja yaa,, hehehhe.. Ha? Tanggalnya? Tempatnya?
Yah tebak-tebak sendiri aja deh, masih ditahun ini koq, oke selamat menikmati~…..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar